Mengelola Rasa Ingin Tahu
  • 17 Januari 2023
  • Administrator
  • berita
  • 802 Kali Dilihat

“Hah serius? Kamu belajar UI/UX?” Tanya seorang teman yang sebenarnya kami sudah cukup lama saling tahu, tapi baru belakangan mulai terbuka untuk saling lebih mengenali. Berbekal melihat perjalanan masing-masing dari kami mengikuti rasa ingin tahu secara retrospektif, cukup panjang lebar obrolan tak sengaja kami malam itu. 

Tapi tidak, tulisan ini bukan tentang Saya yang sejak menyelesaikan studi (ilmu pendidikan) mencoba mempelajari UI/UX Design & Research, Data Analytics, sampai beberapa bidang ilmu lain hingga hari ini (padahal juga tengah menjalankan studi lanjut di bidang ilmu manajemen). Bukan juga tentang teman Saya yang sejak terjun mempelajari Sistem Informasi, walau telah mencoba membelokkan diri mempelajari ilmu lain, pada akhirnya wawasan yang dia dapatkan hanya akan semakin menambah kedalaman rasa ingin tahunya terhadap Sistem Informasi. Berangkat dari pertanyaan “Tapi kamu gak ‘berhenti’ kan, Will?” di sela-sela obrolan kami malam itu, tulisan ini hendak berbagi perspektif kepada pembaca sekalian, tentang bagaimana mengelola rasa ingin tahu.

Kita semua pasti sepakat bahwa salah satu kunci dalam perjalanan hidup adalah kemampuan menentukan pilihan. Di banyak persimpangan, kita semua memerlukan kunci ini untuk kemudian menentukan pintu mana yang akan kita buka, beserta kemudian realitas apa -di balik pintu itu- yang telah kita pilih untuk kita sanggup hadapi dan lalui sebagai konsekuensinya. Jauh sebelum obrolan dengan seorang teman ini, Saya selalu beranggapan bahwa tiap-tiap dari kita, dalam menentukan pintu mana yang hendak kita buka, terlebih dahulu telah memilih kunci seperti apa yang akan kita gunakan. Beberapa orang senang menggunakan kunci perasaan, lainnya lebih nyaman menggunakan kunci logika, tidak jarang kita temui mereka yang terbiasa menggunakan kunci intuisi, serta boleh jadi banyak di antara kita lebih sering menggunakan “kunci-kunci” lainnya. Baru kemudian jenis kunci yang kita pilihlah yang akan menentukan pintu apa yang dapat kita buka, realitas seperti apa yang akan kita hadapi.

Kembali ke pertanyaan di atas, sebelum Saya jawab pertanyaan tersebut, satu hal begitu saja tiba-tiba Saya sadari. Bahwa ternyata, yang terlebih dahulu Saya tentukan setiap kali dihadapkan dengan banyak pintu yang dapat Saya pilih adalah realitas apa -di balik pintu itu- yang sekiranya Saya sanggup hadapi dan lalui sebagai konsekuensinya, baru kemudian Saya memutuskan untuk “Okey, Saya akan buka pintu yang ini”. Adapun kunci mana yang akan Saya gunakan, lebih sering tidak cukup Saya pedulikan. Murni bergantung pada realitas yang -sekali lagi- kiranya Saya sanggup hadapi dan lalui sebagai konsekuensinya. Beberapa membutuhkan perasaan, beberapa membutuhkan intuisi, di kesempatan lain Saya perlu logika, serta tak jarang rasanya Saya membutuhkan beberapa jenis kunci sekadar untuk membuka satu pintu. 

Alih-alih didorong oleh perasaan, intuisi, atau logika, di banyak persimpangan, rasa ingin tahulah yang menjadi kemudi ketika Saya dihadapkan pada keharusan menentukan pilihan.

Rasa ingin tahu, membuat Saya dapat menghabiskan lebih banyak waktu di ruang satu ketimbang di ruang yang lain.

Rasa ingin tahu, membuat Saya berani menghadapi konsekuensi rumit di pilihan yang satu, sekalipun perasaan, intuisi, dan logika Saya senada mengatakan “Hey, di sisi sana ada pilihan lain dengan konsekuensi yang lebih sederhana. lho?”.

Rasa ingin tahu, yang pada akhirnya membuat Saya tidak pernah berhenti bertanya dan berupaya menemukan jawaban.

Sekalipun tidak ada yang memberitahu kita bagaimana cara untuk menjadi ingin tahu, tidak guru kita, tidak juga keluarga atau teman kita, kabar baiknya rasa ingin tahu ini berasal dari sifat dasar manusia. Artinya, kita memang dilahirkan untuk menjadi pencipta rasa ingin tahu. Artinya, masing-masing dari kita adalah satu-satunya orang di dunia ini yang dapat memberitahu diri kita masing-masing tentang apa yang kita ingin tahu dan bagaimana cara mengetahuinya. Artinya, kendali rasa ingin tahu sepenuhnya ada pada diri kita sendiri.

Sayangnya, seiring disibukkan oleh banyak hal yang bernama keharusan, kemampuan menciptakan rasa ingin tahu kita kian waktu terasa kian tumpul. Tidak jarang, dalam rangka mengalihkan perhatian dari banyaknya keharusan yang dilakukan, sering kali kita menciptakan rasa ingin tahu-rasa ingin tahu yang tidak perlu (misal: “Kok si anu bisa secepet itu punya rumah, ya?”, “Si siuk kok udah kebeli mobil aja sih? Perasaan kerjanya aja gak jelas?”). Alih-alih, sebagai penutup bahasan kali ini, Saya hendak mengajak pembaca sekalian untuk mengasah kembali kemampuan menciptakan rasa ingin tahu masing-masing dari kita, dengan mempelajari satu hal minggu ini. Satu hal, apapun. Bukan karena Anda harus, tetapi karena Anda ingin. Temukan hobi baru, pelajari bagaimana sesuatu bisa terjadi, atau bahkan melakukan sesuatu yang menyenangkan seperti merajut, menjahit, bertanam, hingga menyelesaikan sebuah rubik. 

Kita mungkin tidak akan serta merta menjadi lihai, tapi ketahuilah, kita ini sering lebih banyak belajar dari pencarian jawaban ketimbang dari jawabannya itu sendiri. 

Written By Wilany Oktaviany, S.Pd.

Konten Terkait :

Komentar :