Berefleksi: Memaknai Krisis sebagai Ajakan Lembut dari Sang Maha Pengatur
  • 02 Januari 2023
  • Administrator
  • berita
  • 1005 Kali Dilihat

Berefleksi: Memaknai Krisis sebagai Ajakan Lembut dari Sang Maha Pengatur

 

Keinginan untuk tahu … sekarang, untuk punya … sekarang, untuk bisa … sekarang, untuk kaya … sekarang, sering kali menjadi bias ketika kita sejatinya hanya menginginkan ketenangan diri, kejernihan pikir, dan kelembutan hati dalam menyikapi apapun yang terjadi. Sayangnya, bias-bias tersebut justru semakin menjauhkan kita dari tiga hal yang sejatinya kita inginkan, terlebih ketika kita dihadapkan dengan sesuatu yang biasa kita sebut sebagai krisis hidup.

Diawali dengan mengajak pembaca mengingat satu kalimat indah dari Kanjeng Rumi yang berbunyi “Luka adalah tempat cahaya memasuki dirimu …”, melalui buku kedua dari serial Your Job Is Not Your Career 2022 dengan judul Life Crisis: How to Deal With Meaninglessness yang ditulisnya bersama Tutus Widayanti, Rene Suhardono menyadarkan kita tentang bagaimana krisis adalah sebuah keadaan, bukan ketetapan. Setiap dari kita pasti pernah, masih, dan akan terus mengalaminya, dengan intensitas yang berbeda-beda, sehingga krisis bukanlah sesuatu yang unik. Tidak terelakkan. Tidak terhindarkan. Karenanya, krisis merupakan sesuatu yang pasti bisa kita lewati, meski sering kali hal tersebut terasa mustahil ketika kita tengah berada di dalamnya.

Tidak mudah menyarikan buku yang keseluruhan lembarnya sudah seperti highlight dari buku ini, tetapi dua kata kunci berikut barangkali bisa kita anggap sebagi inti paling sarinya, yakni Life Crisis dan Deconstructing Success. Khusus di kesempatan kali ini, mari sama-sama berefleksi melalui kata kunci pertama, Life Crisis, dimana sambil membedah seluk beluk krisis, Rene mengajak para pembaca untuk sudi mengupas lapis demi lapis diri, melalui beberapa poin kunci di bawah ini:

First thing first, Life Crisis. Satu keadaan yang wujudnya dapat berupa bimbang, gamang, resah, lelah, tak ada arti dan makna, bising, tak ada jawaban, terperangkap, tak ada pergerakan. Sering kali, ketika dihadapkan dengan situasi-situasi tadi, perasaan sendiri dan hanya saya yang mengalami muncul menguasai diri. Kenyataannya, setiap kita pasti mengalami semua itu meski tidak dengan intensitas yang serupa. Sehingga, kesemuanya itu sama sekali tidak unik, dan kita tidak sendiri. Adapun mengapa banyak orang lebih sering menamainya sebagai quarter life crisis sehingga seolah-olah hanya terjadi pada mereka dengan rentang usia 20-30’an, jawabannya adalah kehadiran banyak platform media sosial yang memang dominasinya dikuasai oleh rentang usia tersebut. Platform-platform ini mampu mengangkat kegamangan, kebosanan, keresahan, sebagaimana juga kegembiraan, kesenangan, dan kasyikan yang dirasakan, ke dalam linimasa dan menjadikannya topik pembahasan yang berkelanjutan. Tanpa ujung. Hingga kemudian belakangan kita akrab dengan istilah overthinking.

It’s not overthinking, it’s about letting our brain be overstimulated, all the time.

Syekh Hamzah Yusuf, seorang filsuf dan pemikir kontemporer dari Zaytuna College di Berkeley, California pernah menyampaikan bahwa apa yang dibaca, dilihat, ditonton, didengar, dan disimak oleh orang modern tahun 2021 dalam 24 jam jauh melampaui segala hal yang dibaca, dilihat, ditonton, didengar, dan disimak oleh orang-orang sebelum TV atau media sosial muncul. Hal ini menggambarkan betapa otak kita bising dengan stimulasi berlebih, terutama oleh keriuhan di media sosial. Tak heran, kita semua seakan hampir tidak memiliki waktu untuk dapat memikirkan, memahami, dan menginternalisasi setiap gambar, perkataan, peristiwa, penemuan, atau apapun itu yang terjadi, sehingga kemudian respons diri yang muncul lebih sering jauh dari kedalaman pikiran dan perasaan. Alih-alih, hal remeh dapat memicu emosi negatif, hal kecil bisa menjadi sangat besar, dan urusan orang lain selalu bisa dijadikan urusan pribadi. Overthinking terjadi ketika kita tidak mampu mengendalikan stimulasi ini.

There are always problems, and that is not problem. Why we choose to think that we can only be happy if …?

Masalah tidak pernah mengenal usia, gender, status apapun yang kita lekatkan ke dalam diri. As long as kita diberi kesempatan untuk bernafas dan menjalani hidup, problem akan terus terjadi. Sayangnya, sering kita membatasi kebahagiaan kita dengan menetapkan batas dan syarat bagi bahagia itu sendiri. Misal, jika saya memiliki fasilitas yang memadai, maka kinerja saya akan bertambah jauh lebih baik, termasuk hasil akhirnya juga akan jauh lebih berkualias, sehingga dengannya saya merasa puas dan bangga. See, rasa puas dan bangganya digantungkan pada seberapa memadai fasilitas yang dimiliki. Padahal kalau kita perhatikan lebih dalam, problem bisa berasal dari dua sumber: internal dan eksternal. Di poin ini, Rene menegaskan bahwa problem utama sering kali sebenarnya muncul karena faktor internal. Yes, we did it to our selves. Apa pun itu, selama masih belum mampu mengenal faktor internal ini, akan memicu keriuhan dan kebisingan yang sejatinya tidak perlu.

Cisrcumstanse Does Not Make the Man, It Reveals Him to Himself – James Allen

Meski terasa mudah menyalahkan hal-hal di luar internal atas berbagai bentuk krisis yang terjadi di dalam diri, sejatinya ketidakmampuan mengendalikan diri, ketidakberdayaan diri memunculkan beragam sudut pandang atas suatu keadaan, serta kegagalan menanamkan pikiran dan perasaan baik (dalam hati dan pikiran) adalah penyebab yang sebenarnya. Sejatinya pula, semua problem adalah medium untuk lebih mengenal dan melatih diri menjadi lebih benar dan lebih baik. Atau bisa juga terjadi sebaliknya, menjadikan diri kita semakin sulit dikenali, jauh dari kebenaran dan kebaikan. Pertanyaannya terletak pada sikap mana yang akan dengan tegas kita pilih dan dengan disiplin kita jalani?

Problems Are the Tuition in the School of Life, And That is Not the Problem

Jika Anda mengira keberhasilan melalui krisis diindikasikan dengan keberhasilan dalam artian sempit dan tampak, maka Anda sama kelirunya dengan Saya. Karena di poin ini, Rene mengingatkan kita betapa krisis tidak memberikan manfaat apapun jika ujungnya Anda justru semakin yakin pada kemampuan diri Anda sendiri (baca: sombong). Alih-alih, apabila krisis semakin memicu kita melakukan segala kebaikan dan kebenaran dalam kebenaran dan keikhlasan, maka krisis adalah pemberian instimewa untuk kita. Pemberian dari Dia dengan pengetahuan menyeluruh tentang segalanya. Dia yang tak terbatas oleh ruang dan waktu. Allah Sang Maha Mengetahui dan Maha Pengatur.

“Kita ini sering lupa tentang betapa orang tersesat itu bukan karena tidak tahu mau ke mana, tetapi justru karena dia tidak tahu saat ini dirinya tengah berada di mana.”

Who Am I, Really?

Melibatkan serangkaian proses panjang yang memakan waktu sepanjang hayat, mengenal diri merupakan perjalanan ke dalam diri sendiri untuk senantiasa merespons tiga pertanyaan yang merupakan simpul utama bagi setiap manusia yang pernah, masih, dan akan bernafas di dunia ini. Pertama, siapa saya, kenapa saya ada di sini? Kedua, saya dari mana? Dan ketiga, saya hendak ke mana, saya akan berakhir di mana? Banyak dari kita tidak pernah benar-benar mengetahui siapa dirinya tersebab abai menjalani proses menjawab ketiga pertanyaan ini.

Mengenal Diri, Bukan Mengkotakkan Diri: You are NOT What Your Personality Test Tells You

Anda familiar dengan Stifin, MBTI, 5 Love Languages, atau bentuk tes kepribadian lain? Rene sedikit mengulas mengenai penilaian-penilaian psikometrik ini. Menurutnya, kata kunci dari penilaian psikometrik adalah membantu kita mengenali diri. Akan menjadi berbahaya jika kita menganggap hasil berbagai tes itu sebagai sebuah ketetapan. Lebih berbahaya lagi jika kita menuntut dipahami sebagai hasil tes itu, lalu mengunci ruang bertumbuh kembang diri karena merasa this is already me. Meski demikian, Rene memercayai masing-masing tes psikologi dilandasi niat baik. Catatan pentingnya, pahami bahwa diri kita selalu bisa lebih baik, lebih mawas, dan lebih welas dari bagaimana tes-tes tersebut mendeskripsikan diri kita.

Your Personality = Your Masks = Fake Self

Kata personality itu sendiri berasal dari Bahasa Latin “persona” yang apabila diterjemahkan secara harfiah bermakna topeng atau masker. Berpegang pada akar katanya saja, sudah memberi petunjuk betapa personality Saya, menurut hasil tes manapun, adalah sekadar topeng yang tengah Saya kenakan saat itu atau saat ini. It’s just a glimpse of who I am and who you are. Menjadikannya sebagai perkara mutlak dan absolut berarti menutup peluang untuk proses benar-benar mengenal diri, menafikan proses tumbuh kembang menjadi diri sendiri dalam versi terbaik, serta gagal memahami reality sebagai reality.

Your Reality is Your Internal

Lalu kemudian, reality mana yang mesti kita pahami sebagai reality? Pada bagian ini Rene mengutip interpretasi dari tulisan Imam Besar Al-Ghazali dalam karya berjudul Ihya’ ‘Ulumuddin yang secara gamblang menyampaikan bahwa proses mengenali diri adalah proses berkelanjutan menguliti diri dan menjaga keterkaitan, keterpautan, dan keterikatan diri dengan Allah hingga ajal menjemput diri. Mengenali diri adalah menerima, meyakini, dan mengakui bungkusan-bungkusan diri yang melekat dalam diri, untuk kemudian secara perlahan dan sadar memilih untuk melepaskannya. Bungkusan atau selubung itu adalah segala hal yang kerap kali menjadikan diri merasa lebih baik atau lebih buruk dari orang lain. Selanjutnya, dalam diri kita terdapat empat potensi atau pelaku kunci, yaitu The Appetite (hasrat/nafsu) yang diibaratkan sebagai petugas pengumpul pajak, The Anger (amarah) yang diibaratkan sebagai polisi yang berfungsi sebagai penegak keadilan, The Mind (akal) yang diibaratkan sebagai perdana menteri, dan Spiritual Heart (kalbu) yang diibaratkan sebagai raja yang berkuasa penuh. Interaksi antarpotensi tersebut akan memunculkan potensi tertentu dalam diri seseorang, bergantung pada potensi mana yang kerap kita “beri makan”.

Pada akhirnya, mengenal diri dalam prosesnya membutuhkan kedisiplinan dan persistensi untuk melakukan tigal hal ini dalam keseharian: mengingat kesalahan diri, mengingat kematian, serta mengingat Allah Sang Mahakuasa.

Mengapa mengingat kesalahan diri dan bukan kesalahan orang lain? Karena dengan demikian pikiran dan waktu yang ada tidak tersita untuk mengingat, menghitung, atau mempermasalahkan kesalahan orang lain. Dengannya, kita menjadi beruntung karena terbebas dari keruwetan memikirkan segala hal yang berada di luar kendali diri, waktu dan energi yang dimiliki dapat difokuskan ke perbaikan nyata, untuk kemudian kedua hal itu kiranya diri dapat menjauhkan kita dari dominasi ego.

Mengapa mengingat kematian? Karena kematian adalah proses alamiah yang pasti akan dialami oleh semua orang yang pernah, masih, dan akan hidup. Kematian (dan kehidupan setelahnya) yang adalah jaminan akan terlaksananya konsep keadilan yang tidak mungkin dijalankan secara sempurna dalam kehidupan ini, dapat meberi kita perspektif jangka panjang secara esensi. Memperpanjang perspektif melampaui kehidupan ini, pada gilirannya dapat membantu kita dalam mengurai dan memilah apa yang benar-benar penting dan apa yang sejatinya hanya dipenting-pentingkan.

Terakhir, mengapa mengingat Allah Sang Mahakuasa? Karena mengingat keberadaan Dia Sang Maha Tanpa Batas akan menjadikan diri lebih menerima keterbatasan, kesulitan, dan kesedihan dalam menjalani kehidupan, terlebih saat diiringi dengan keyakinan bahwa setiap kali mengingat-Nya, maka akan juga diingat-Nya. Siapa di antara kita yang tak mau diingat oleh orang berkuasa? Terlebih diingat oleh Dia Yang Mahakuasa? Memang tampak tidak mudah, tetapi mari sama-sama berlatih mengingat Dia dengan menysukuri, dengan mengekspresikan, dan dengan menyebutkan segala hal baik yang terjadi dalam kehidupan melalui segala hal terdekat kita.

At the end, imbalan terbesar dalam hidup adalah ketenangan diri, kejernihan pikir, dan kelembutan hati dalam menyikapi apapun yang terjadi. Dan imbalan ini adalah konsekuensi logis bagi mereka yang mendisiplinkan diri dan persisten dalam mengingat tiga hal di atas.

 

Written By Wilany Oktaviany, S.Pd.

Konten Terkait :

Komentar :